Wx0xo6FsZRyx4rLE66hBR56d1ftvUDQRSK2eJM5q
Bookmark

Pengukir Bayangan Cermin Kehidupan di Lymora

Di tepian dunia yang tak tertulis dalam atlas manapun, terdapat sebuah kota bernama Lymora — kota di mana bayangan manusia mampu berwujud. Konon, setiap mahkluk yang datang ke Lymora membawa sepotong jiwa dalam bayangannya, dan di sinilah para pengukir bayangan berkuasa: mereka memahat, menata, bahkan menyembuhkan bayangan menjadi sosok yang mandiri. Di antara mereka, ada seorang gadis bernama Raysa.

Raysa lahir pada malam saat rembulan menggantung rendah, menciptakan sinar yang memantul di lengkungan batu fondasi kota. Saat ia masih bayi, bayangannya mengambang menjauh, menari-nari di udara selayaknya kupu-kupu perak. Sejak kecil, Raysa mengetahui bahwa bayangannya istimewa — ia lebih tangkas, lebih mudah diatur daripada bayangan kebanyakan orang. Namun ada satu hal yang mengusiknya: bayangan itu berbicara pelan, mengingatkan Raysa akan sebuah bisikan kelam yang tak pernah ia pahami.

Di usia lima belas tahun, Raysa berguru pada Master Alcion, seorang pengukir bayangan legendaris yang rumahnya berdiri di atas celah tebing, menghadap laut senja. “Setiap bayangan adalah kumpulan kenangan,” kata Alcion pada suatu sore, saat angin memercikkan aroma ikan asin. “Dan siapa pun yang mampu memahat bayangan, sesungguhnya memegang kenangan orang lain. Namun ingat: jangan sampai kau terperangkap dalam bayanganmu sendiri.”

Raysa menghembuskan napas panjang. Sejak tiba di rumah guru, bisikan bayangannya semakin jelas. Kadang ia mendengar tawa seorang bocah, terkadang erangan sedih. Ia berusaha menelaah: apakah itu gema masa lalu atau cikal bakal masa depan? Bila keliru memahat, ia bisa menimbulkan bayangan monster yang merajalela. Bila benar, ia bisa mewujudkan sosok pendamping jiwa. Raysa memilih mencari jawaban di Pustaka Bayangan — perpustakaan kuno yang setiap lembar halamannya memantulkan bayangan masa lalu pembacanya.

Pada malam tanpa bintang, Raysa mengendap melewati koridor tinggi Pustaka Bayangan. Lentera kuning temaram memercikkan cahaya menari di batu tua. Ia membuka gulungan kulit rusa yang ia curi dari ruang khazanah. Saat gulungan itu disentuh bayangannya, lembar demi lembar seakan berbisik, menuntun ia menuju satu nama: Evril, pendiri Lymora. Konon, Evril pernah menciptakan “Cermin Kehidupan” — artefak yang mampu menetralisir bayangan paling kelam sekaligus menguatkan bayangan paling lembut.

Impian Raysa melonjak: dengan Cermin Kehidupan, bisikan bayangannya bisa dijinakkan, dan ia takkan terperangkap oleh makhluk kelam. Masalahnya, artefak itu telah hilang sejak era Perang Cahaya dan Bayangan, ribuan tahun lalu. Hanya tersisa petunjuk samar, berupa peta langka yang terbelah menjadi tiga fragmen: satu disimpan di menara petir di puncak Gunung Aeralis, satu di kedalaman Laut Kubark, dan satu lagi tersembunyi di dalam hati kota, terlindung di balik bayangan setiap wujud bangunan tertua.

Raysa tak gentar. Ia bertekad mengumpulkan ketiga fragmen peta. Pertama, ia meniti jalan mendaki Gunung Aeralis bersama Nazar, sahabat masa kecilnya yang bayangannya dapat berubah wujud sesuai keinginannya. Di puncak, di bawah kilat yang menyalip-nyalip awan gelap, mereka menemukan fragmen peta yang tergantung di akar batu purba, dijaga oleh makhluk bercahaya bernama Cirenthia. Dengan keberanian dan empati, Raysa meyakinkan Cirenthia bahwa niatnya murni: bukan untuk memanipulasi bayangan orang lain, melainkan memurnikan bayangannya sendiri.

Kedua, di kedalaman Laut Kubark, Raysa menyelami lautan kerang dan reruntuhan kota bawah laut. Di sana, ia diiringi oleh bayangannya sendiri, yang tiba-tiba mampu berenang bebas, menukik menembus ombak biru pekat. Pada reruntuhan sanggar tua, mereka menemukan fragmen kedua terbenam di dasar kolam kristal. Namun penjaganya, Liren si naga laut berkulit perak, menantang Raysa dalam teka-teki: “Apa yang lebih lembut dari air, tapi mampu menerobos batu paling tegar?” Raysa terdiam, lalu tersadar: “Bayangan.” Dengan menjawab benar, Liren mempercayakan fragmen kepada Raysa.

Fragmen terakhir tersembunyi di jantung kota Lymora, di balik bayangan lengkung gerbang Fondasi Pertama. Untuk mencapainya, ia harus memasuki Labirin Bayangan: lorong gelap di mana bayangan setiap pelaku bisa mengkhianati. Di sinilah bisikan dalam nyali Raysa terkuak: ternyata bisikan itu adalah gema luka Evril — pendiri kota yang menyesal menciptakan keseimbangan antara cahaya dan bayangan. Ia merasa dihantui oleh ciptaannya sendiri. Raysa merasakan ikatan yang mendalam: bukan hanya sebagai murid, tapi sebagai pewaris tanggung jawab.

Ketika ketiga fragmen peta bersatu, panduan menuju Cermin Kehidupan terungkap: reruntuhan kuil di puncak menara cahaya, yang hanya muncul pada detik dimana matahari dan rembulan sejajar. Pada hari itu, Raysa dan Nazar memanjat menara kuno. Saat pilar-pilar memantulkan dua sinar sejalur, Cermin Kehidupan terangkat dari dasar altar, bak mata raksasa yang tertidur. Raysa memandang pantulan dirinya: di balik wajah lembut, tampak bayangan kelam yang terjebak di matanya. Dengan penuh percaya, ia menyentuh Cermin, dan bayangannya pun terbebas, terurai menjadi serpihan cahaya yang berkelip.

Kini, Raysa bukan lagi gadis yang dibayangi suara asing, melainkan pengukir bayangan sejati, yang mampu merajut helaian cahaya dan gelap menjadi satu kesatuan harmonis. Ia menempuh jalan pulang — bukan sekadar kembali ke kota, melainkan membawa warisan yang lebih besar: pemahaman bahwa setiap jiwa, seperti bayangan, menyimpan sisi terindah sekaligus terluka. Dan tugas pengukir bayangan bukan menghapus, melainkan menyembuhkan.

Saat tiba di Lymora, Raysa diarak lembut oleh penduduk, sementara bayangannya berdiri berdampingan, menari dalam irama ceria. Suara tawa dan bisikan penuh harap menggema di lorong-lorong batu. Master Alcion, dengan mata berkaca, menatap muridnya: “Kau telah mengubah takdir kota ini, Raysa. Kini, bayangan tak lagi menakutkan, melainkan sahabat yang menyertai perjalanan setiap hati.”

Malam itu, lampu-lampu kuning kota memantul di permukaan kanal, menciptakan simfoni cahaya dan bayangan yang menenangkan. Raysa berdiri di tepi kanal, menatap bayangannya yang kini bebas mengekspresikan diri. Ia menyadari, dalam usahanya memahat bayangan orang lain, ia pun harus memahat hatinya sendiri — merajut fragmen-fragmen keraguan menjadi keyakinan, menjadikan setiap bisikan hati sebuah kekuatan. Dan di kota Lymora, cerita barunya baru saja dimulai.

Post a Comment

Post a Comment